Entri yang Diunggulkan

Makalah kebersihan lingkungan

KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan makhluk yang serba indah. Dengan rahmat dan hidayah-Nya saya dapat me...

Selasa, 21 Mei 2013

VAKUM, FORCEP DAN ASFIKSIA

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Menjelang masa persalinan, ibu hamil tentulah menginginkan persalinan dilakukan dengan cara normal. Karena persalinan normal merupakan cara terbaik untuk melahirkan si buah hati ke dunia, dimana resiko dan efek yang dihasilkan sangat minim bahkan mungkin tidak ada. Namun meskipun demikian, jika persalinan tidak berjalan sesuai yang diharapkan, maka petugas medis akan melakukan beberapa tindakan dengan menggunakan peralatan guna mendukung kelancaran proses persalinan. Berikut jenis-jenis persalinan yang biasa dilakukan yang perlu diketahui oleh para ibu hamil dan tindakan seperti apa saja yang dilakukan dari tiap-tiap jenis persalinan tersebut.
Berbagai persiapan sudah dilakukan sejak awal kehamilan hingga menjelang persalinan, mulaidari menjaga pola makan hingga senam hamil. Namun ketika persalinan tiba, semuanya ternyatasia-sia sehingga diperlukan tindakan bantuan untuk memperlancar proses kelahiran si buah hati.
Setiap calon ibu pasti menginginkan proses persalinan yang sehat dan lancar. Namun, bagaimana bila keinginan itu ternyata tak bisa terwujud karena kondisi tertentu. Proses persalinan dengan bantuan terpaksa dilakukan jika persalinan normal tak mungkin untuk dilakukan karena akanmembahayakan si janin maupun si ibu. Misalnya yaitu tindakan episiotomi yang dilakukankarena beberapa kondisi tertentu, seperti risiko terjadinya kerobekan yang parah dan berhubungan dengan daerah anus, ukuran bayi yang sangat besar, posisi bayi yang sungsang,serta kelahiran yang membutuhkan forsep atau vakum.

B.    Tujuan
Untuk mengetahui keuntungan, kekurangan, indikasi, teknik penggunaan Vakum dan Forsep serta defenisi dan penjelasan Asfiksia

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Persalinan Dibantu Alat
Proses persalinan akan menjadi masa-masa membahagiakan sekaligus menegangkan. Meski ibu telah mempersiapkan persalinan jauh-jauh hari, mungkin saja persalinan tak “semulus” yang diduga. Terkadang, keadaan janin menyulitkannya untuk keluar atau keadaan ibu kurang baik (lelah, sakit). Pada keadaan seperti itu, persalinan mungkin membutuhkan bantuan, salah satunya dengan ekstraksi vakum atau forsep.
Bantuan persalinan dipertimbangkan bila pembukaan mulut rahim sudah lengkap, Ibu sudah mencoba melahirkan tetapi bayi tak juga keluar lebih dari satu jam pada ibu yang pernah melahirkan dan lebih dari dua jam pada ibu yang baru pertama kali melahirkan.
Untuk faktor bayi, masalah yang bisa timbul adalah bayi mengalami distress dalam arti bunyi jantung janin melemah. Lalu, ada kemungkinan bayi mengalami kekurangan oksigen atau HIE ( Hipoksik Iskemi Encepalopathy), sehingga ia harus segera dilahirkan.
Sedangkan untuk contoh dari kegagalan kemajuan persalinan adalah masalah waktu. Misalnya, ibu yang menjalani operasi caesar pada persalinan sebelumnya dan pada persalinan berikutnya ini ingin melahirkan secara normal; maka hal itu bisa saja dilakukan namun ia dibatasi waktu, yaitu hanya boleh mengejan dalam waktu 20 menit. Bila lebih dari itu, proses persalinannya harus dibantu dipercepat dengan menggunakan alat bantu. Tindakan ini dilakukan untuk mengurangi risiko terjadinya robekan pada rahim.
Sejauh ini ada dua alat bantu yang sering dipakai dalam proses kelahiran, yaitu forceps dan vakum. Kalau yang dibutuhkan hanya tarikan, tanpa perlu memutar, misalnya posisi kepala bayi sudah menghadap ke bawah, maka dokter biasanya menggunakan forceps. Tetapi, kalau kita butuh memutar posisi kepala bayi yang agak melintang, maka dokter biasanya mengunakan vakum, atau forceps khusus seperti Kjelland forceps.

B.    Persalinan dibantu Vakum (Ekstrasi Vakum)
Disebut juga ekstrasi vakum. Vakum adalah satu alat yang menggunakan cup penghisap yang dapat menarik bayi keluar dengan lembut.
Pada penggunaan alat vakum, trauma hanya terjadi di daerah kepala bayi. Selain caput succedanium atau tonjolan pada kulit kepala, kalau tarikan atau tekanannya terlalu besar, maka dikhawatirkan ada pembuluh darah kecil yang putus saat vakum dilepas. Bila hanya caput succedanium yang terjadi, hal ini biasanya akan kembali normal dalam dua atau tiga hari. Proses ini bisa dipercepat bila kepala bayi tidak diangkat-angkat. Pemasangan vakum yang benar adalah benar-benar di puncak kepala bayi yang posisinya menunduk. Jadi, lebih dekat ke ubun-ubun kecilnya.
Cara kerjanya sangat sederhana, yaitu vakum diletakan diatas kepala bayi, kemudian ada selang yang menghubungkan mangkuk ke mesin yang bekerja dengan listrik atau pompa. Alat ini berpungsi membantu menarik kepala bayi ketika Anda mengejan. Jadi tarikan dilakukan saat Anda mengejan, dan saat mulut rahim sudah terbuka penuh (Fase Kedua) dan kepala bayi sudah berada dibagian bawah panggul.
Persalinan dengan vakum dilakukan bila ada indikasi membahayakan kesehatan serta nyawa ibu atau anak, maupun keduanya. Jika proses persalinan cukup lama sehingga ibu sudah kehilangan banyak tenaga, maka dokter akan melakukan tindakan segera untuk mengeluarkan bayi, misalnya dengan vakum. Keadaan lain pada ibu, yaitu adanya hipertensi (preeklamsia) juga merupakan alasan dipilihnya vakum sebagai alat bantu persalinan. Dalam keadaan demikian, Anda tidak boleh mengejan terlalu kuat karena mengejan dapat mempertinggi tekanan darah dan membahayakan jiiwa Anda. Vakum juga dikerjakan apabila terjadi gawat janin yang ditandai dengan denyut jantung janin lebih dari 160 kali permenit atau melambat mencapai 80 kali permenit yang menandakan bahwa bayi telah mengalami kekurangan oksigen (hipoksia).
Proses persalinannya sendiri menghabiskan waktu lebih dari 10 menit. Namun, dibutuhkan waktu sekitar 45 menit untuk menjalani seluruh prosedur.
Selain sesuai dengan keadaan diatas, vakum baru boleh dikerjakan bila sarat-saratnya terpenuhi. Sarat tersebut yaitu panggul ibu tidak sempit, artinya dapat dilewati oleh janin, janin tidak terlalu besar, pembukaan sudah lengkap, dan kepala janin sudah memasuki dasar panggul ibu. Jika sarat tersebut tidak terpenuhi, misalnya janin terlalu besar dan kepala janin masih terletak tinggi didalam panggul, maka operasi seksio caesaria adalah pilihannya.
EFEK SAMPING
Selain sesuai dengan keadaan diatas, vakum baru boleh dikerjakan bila sarat-saratnya terpenuhi. Sarat tersebut yaitu panggul ibu tidak sempit, artinya dapat dilewati oleh janin, janin tidak terlalu besar, pembukaan sudah lengkap, dan kepala janin sudah memasuki dasar panggul ibu. Jika sarat tersebut tidak terpenuhi, misalnya janin terlalu besar dan kepala janin masih terletak tinggi didalam panggul, maka operasi seksio caesaria adalah pilihannya.
Efek samping dari persalinan dengan dibantu vakum ini adalah terjadi perlukaan yang lebih luas pada jalan lahir, juga pendarahan dijalan lahir. Sedangkan pada bayi, resiko vakum secara umum adalah terjadinya luka atau lecet dikulit kepala. Inipun dapat diobati dengan obat anti septik. Kondisi ini biasanya akan hilang sendiri setelah bayi usia seminggu. Resiko yang lebih berat adalah terjadinya pendarahan diantara tulang-tulang kepala (cephal hematome), juga terjadi pendarahan dalam otak.
Masalah yang bisa terjadi pada penggunaan vakum adalah bila mangkuknya lepas, atau bocor. Selain itu, hal lain yang perlu diperhatikan waktu kita memasang alat vakum adalah tidak boleh ada bagian ibu, misalnya sebagian vagina, yang ikut terjepit, sehingga saat ditarik akan robek. Umumnya, kalau pembukaan sudah lengkap, hal ini tidak terjadi. Bila pada penggunaan forceps tenaga ibu dialihkan sepenuhnya ke tenaga penolong, maka pada penggunaan vakum kita masih butuh tenaga ibu. Jadi, pada vakum, tarikan dimulai bersama-sama dengan kontraksi sambil ibu mengejan.
Untuk mengurangi risiko yang timbul akibat penggunaan forceps atau vakum, syarat pemasangannya dibuat lebih ketat. Bila dulu dikenal istilah forceps atau vakum tinggi, tengah dan rendah, maka kini yang tengah dan tinggi tidak dilakukan lagi. Jadi, yang sekarang dilakukan adalah forceps atau vakum rendah di mana kepala bayi sudah mau keluar atau sudah kelihatan. Bila dilakukan forceps rendah, tangan dari penolong persalinan bisa memegang kepala bayi lebih baik.
Selain itu, terjadinya robekan pada vagina, bahkan sampai ke mulut rahim, bisa diminimalkan risikonya. Bila dilakukan vakum rendah maka risiko perdarahan di bawah selaput otak, atau bahkan dalam otak, yang disebabkan oleh perbedaan tekanan menjadi lebih kecil. Jadi, sekarang ini syarat-syarat yang harus dipenuhi sudah diperketat, sehingga penggunaan alat bantu persalinan lebih aman, baik untuk ibu maupun bayi.

C.    Persalinan Dibantu forsep (ekstrasi forsep)
Forsep merupakan alat bantu persalinan yang terbuat dari logam menyerupai sendok. Berbeda dengan vakum, persalinan yang dibantu forsep bisa dilakukan meski Anda tidak mengejan, misalnya saat terjadi keracunan kehamilan, asma, atau penyakit jantung. Persalinan dengan forsef relatip lebih beresiko dan lebih sulit dilakukan dibandingkan dengan vakum. Namun kadang terpaksa dilakukan juga apabila kondisi ibu dan anak sangat tidak baik.
Dokter akan meletakan forsep diantara kepala bayi dan memastikan itu terkunci dengan benar, artinya kepala bayi dicengkram dengan kuat dengan forsep. Kemudian forsep akan ditarik keluar sedangkan ibu tidak perlu mengejan terlalu kuat. Persalinan forsep biasanya membutuhkan episiotomi.
Forsep digunakan pada ibu pada keadaan sangat lemah, tidak ada tenaga, atau ibu dengan penyakit hipertensi yang tidak boleh mengejan, forsep dapat menjadi pilihan. Demikian pula jika terjadi gawat janin ketika janin kekurangan oksigen dan harus segera dikeluarkan. Apabila persalinan yang dibantu forsep telah dilakukan dan tetap tidak bisa mengeluarkan bayi, maka operasi caesar harus segera dilakukan.

 Pada bayi dapat terjadi kerusakan saraf ketujuh (nervus fasialis), luka pada wajah dan kepala, serta patah tulang wajah dan tengkorak. Jika hal itu terjadi, bayi harus diawasi dengan ketat selama beberapa hari. Tergantung derajat keparahannya, luka tersebut akan sembuh sendiri. Sedangkan pada ibu, dapat terjadi luka pada jalan lahir atau robeknya rahim (ruptur uteri).
Tindakan operasi caesar ini hanya dilakukan jika terjadi kemacetan pada persalinan normal atau jika ada masalah pada proses persalinan yang dapat mengancam nyawa ibu dan janin. Keadaan yang memerlukan operasi caesar, misalnya gawat janin, jalan lahir tertutup plasenta (plasenta previa totalis), persalinan meacet, ibu mengalami hipertensi (preeklamsia), bayi dalam posisi sungsang atau melintang, serta terjadi pendarahan sebelum proses persalinan.
Pada beberapa keadaan, tindakan operasi caesar ini bisa direncanakan atau diputuskan jauh-jauh hari sebelumnya. Operasi ini disebut operasi caesar elektif. Kondisi ini dilakukan apabila dokter menemukan ada masalah kesehatan pada ibu atau ibu menderita suatu penyakit, sehingga tidak memungkinkan untuk melahirkan secara normal. Misalnya ibu menderita diabetes, HIV/AIDS, atau penyakit jantung, caesar bisa dilakukan secara elektif atau darurat (emergency). Elektif maksudnya operasi dilakukan dengan perencanaan yang matang jauh hari sebelum waktu persalinan. Sedangkan emergency berarti caesar dilakukan ketika proses persalinan sedang berlangsung, namun karena suatu keadaan kegawatan maka operasi caesar harus segera dilakukan.
Dokter akan meletakan forsep diantara kepala bayi dan memastikan itu terkunci dengan benar, artinya kepala bayi dicengkram dengan kuat dengan forsep. Kemudian forsep akan ditarik keluar sedangkan ibu tidak perlu mengejan terlalu kuat. Persalinan forsep biasanya membutuhkan episiotomi.
Forsep digunakan pada ibu pada keadaan sangat lemah, tidak ada tenaga, atau ibu dengan penyakit hipertensi yang tidak boleh mengejan, forsep dapat menjadi pilihan. Demikian pula jika terjadi gawat janin ketika janin kekurangan oksigen dan harus segera dikeluarkan. Apabila persalinan yang dibantu forsep telah dilakukan dan tetap tidak bisa mengeluarkan bayi, maka operasi caesar harus segera dilakukan.
Pada bayi dapat terjadi kerusakan saraf ketujuh (nervus fasialis), luka pada wajah dan kepala, serta patah tulang wajah dan tengkorak. Jika hal itu terjadi, bayi harus diawasi dengan ketat selama beberapa hari. Tergantung derajat keparahannya, luka tersebut akan sembuh sendiri. Sedangkan pada ibu, dapat terjadi luka pada jalan lahir atau robeknya rahim (ruptur uteri).
Kadang-kadang, risiko trauma atau cedera yang terjadi pada ibu atau bayi bisa lebih besar pada persalinan dengan alat bantu forceps daripada persalinan dengan alat bantu vakum. Kedua bagian alat forceps itu dipasang satu demi satu. Kalau yang satu mudah tapi yang kedua sulit sehingga miring atau tidak bisa dikunci, maka tidak boleh ditarik. Itu artinya pemasangan forceps gagal dan perlu diulang lagi. Bila dipaksakan, kondisi ini dapat mencederai ibu, dan bisa mencederai atau merobek bibir, hidung, mata atau bagian lain dari kepala bayi.

D.    Asfiksia
Asfiksia atau mati lemas adalah suatu keadaan berupa berkurangnya kadar oksigen (O2) dan berlebihnya kadar karbon dioksida (CO2) secara bersamaan dalam darah dan jaringan tubuh akibat gangguan pertukaran antara oksigen (udara) dalam alveoli paru-paru dengan karbon dioksida dalam darah kapiler paru-paru. Kekurangan oksigen disebut hipoksia dan kelebihan karbon dioksida disebut hiperkapnia.
Etiologi
Biasanya terjadi pada bayi yang dilahirkan dari ibu dengan komplikasi, misalnya DM,PEB, eritroblastosis fetalis, kelahiran kurang bulan.
•    Terjadi apabila saat lahir bayi mengalami gangguan pertukaran gas dan transport O2 sehingga kekurangan persediaan O2 dan kesulitab pengeluaran CO2.
•    Faktor yang terdapat pada janin / bayi karena sperti adanya gangguan aliran tali pusat yang menumbung, tali pusat melilit leher.
•    Terjadinya depresi pernapasan bayi karena obat / analgetik yang diberikan pada ibu.
•    Adanya gangguan tumbuh kembang intrauterin dan kelainan bawaan (aplasia paru, atresia saluran napas).
Patofisiologi
Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan O2 selama kehamilan / persalinan, akan terjadi asfiksia. Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian. Kerusakan dan gangguan ini dapat reversible atau tidak tergantung dari berat badan dan lamanya asfiksia. Asfiksia ringan yang terjadi dimulai dengan suatu periode appnoe, disertai penurunan frekuensi jantung. Selanjutnya bayi akan menunjukan usaha nafas, yang kemudian diikuti pernafasan teratur. Pada asfiksia sedang dan berat usaha nafas tidak tampak sehingga bayi berada dalam periode appnoe yang kedua, dan ditemukan pula bradikardi dan penurunan tekanan darah. Disamping perubahan klinis juga terjadi gangguan metabolisme dan keseimbangan asam dan basa pada neonatus.
Pada tingkat awal menimbulkan asidosis respiratorik, bila gangguan berlanjut terjadi metabolisme anaerob yang berupa glikolisis glikogen tubuh, sehingga glikogen tubuh pada hati dan jantung berkurang. Hilangnya glikogen yang terjadi pada kardiovaskuler menyebabkan gangguan fungsi jantung. Pada paru terjadi pengisian udara alveoli yang tidak adekuat sehingga menyebabkan resistensi pembuluh darah paru. Sedangkan di otak terjadi kerusakan sel otak yang dapat menimbulkan kematian atau gejala sisa pada kehidupan bayi selanjutnya.
Tanda dan Gejala
•    Distres pernafasan (Apnu / megap-megap)
•    Detak jantung
•    Refleks / respons bayi lemah
•    Tonus otot menurun
•    Warna kulit biru / pucat

Pemeriksaan Penunjang
•    Foto polos dada
•    USG kepala
•    Laboratorium : darah rutin, analisa gas darah, serum elektrolit
Pemeriksaan Diagnostik
1.    Analisa gas darah
2.    Elektrolit darah
3.    Gula darah
4.    Baby gram
5.    USG ( Kepala )
6.    Penilaian APGAR score
7.    Pemeriksaan EGC dab CT- Scan
8.    Pengkajian spesifik
Penatalaksanaan
Tindakan dilakukan pada setiap bayi tanpa memandang nilai apgar. Segera setelah lahir, usahakan bayi mendapat pemanasan yang baik, harus dicegah atau dikurangi kehilangan panas pada tubuhnya, penggunaan sinar lampu untuk pemanasan luar dan untuk meringankan tubuh bayi, mengurangi evaporasi.
Bayi diletakkan dengan kepala lebih rendah, pengisapan saluran nafas bagian atas, segera dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari timbulnya kerusakan mukosa jalan nafas, spasmus larink atau kolaps paru. Bila bayi belum berusaha untuk nafas, rangsangan harus segera dikerjakan, dapat berupa rangsangan nyeri dengan cara memukul kedua telapak kaki, menekan tendon Achilles atau pada bayi tertentu diberikan suntikan vitamin K.



Komplikasi
Edema otal, perdarahan otak, anusia dan oliguria, hiperbilirubinumia, enterokolitis, nekrotikans, kejang, koma. Tindakan bag and mask berlebihan dapat menyebabkan pneumotoraks.
1.    Otak : Hipokstik iskemik ensefalopati, edema serebri, palsi serebralis.
2.    Jantung dan paru: Hipertensi pulmonal persisten pada neonatorum, perdarahan paru, edema paru.
3.    Gastrointestinal: enterokolitis, nekrotikans.
4.    Ginjal: tubular nekrosis akut, siadh.
5.    Hematologi: dic
Diagnosis
Diagnosis hipoksia janin dapat dibuat dalam persalinan dengan ditemukannya tanda-tanda gawat janin. Tiga hal yang perlu diperhatikan. Denyut jantung janin. Frekuensi normal adalah antara120 dan 160 denyut/menit selama his frekuensi turun, tetapi diluar his kembali lagi kepada keadaan semula. Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak besar, artinya frekuensi turun sampai dibawah 100 x/ menit diluar his dan lebih-lebih jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya.
Mekonium dalam air ketuban. Mekonium pada presentasi – sungsang tidak ada, artinya akan tetapi pada presentasi kepala mungkin menunjukan gangguan. Oksigenisasi dan harus menimbulkan kewaspadaan. Biasanya mekonium dalam air ketuban pada presentasi kepaladapat merupakan indikasi untuk mengakhir persalinan bila hal itu dapat dilakukan dengan mudah.
Pemeriksaan pH darah janin. Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukan lewat serviks dibuat sayatan kecil pada kulit pada kulit kepala janin dan diambil contoh darah janin. Darah ini diperiksa pH-nya. Adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu sampai turun dibawah 7,2 hal itu dianggap sebagai tanda bahaya.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Vakum adalah satu alat yang menggunakan cup penghisap yang dapat menarik bayi keluar dengan lembut. Persalinan dengan vakum dilakukan bila ada indikasi membahayakan kesehatan serta nyawa ibu atau anak, maupun keduanya.
Forsep merupakan alat bantu persalinan yang terbuat dari logam menyerupai sendok. Persalinan dengan forsef relatip lebih beresiko dan lebih sulit dilakukan dibandingkan dengan vakum

B.    Saran
Diharapkan sepanjang kehamilan ibu memeriksakan kehamilannya terutama apabila ibu merasakan sesuatu yang tidak sewajarnya, dianjurkan juga untuk USG guna mengetahui janin beserta letak tali pusatnya.



DAFTAR PUSTAKA

Arif, Mansjoer, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jakarta: FKUI. Markum. AN. 1991. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jilid I. BCS. IKA Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
http://www.anakku.net/vakum-dan-forsep.html
http://itafebrianii.wordpress.com/2012/06/29/macam-macam-persalinan/
http://modulkesehatan.blogspot.com/

Makalah Pelvic Inflammatory Disease (PID)

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Pelvic Inflammatory Disease (PID) adalah istilah klinis umum untuk infeksi traktus genital atas. Terdapat sekitar 1 juta kasus PID di Amerika Serikat setiap tahunnya. Prevalensi ini meningkat pada negara berkembang dengan masyarakat sosioekonomik rendah.
Lebih dari seperempat pasien PID membutuhkan rawatan di rumah sakit. Resiko meningkat pada daerah dengan prevalensi penyakit menular seksual tinggi akibat dari aktivitas seksual bebas dan berganti pasangan. Negara berkembang seperti Indonesia memiliki segala resiko yang menyebabkan rentannya terjadi PID pada wanita Indonesia.
Untuk itu, diperlukan pencegahan dan penatalaksanaan yang tepat untuk mengurangi prevalensi PID. Karenanya, dibutuhkan pengetahuan tentang PID agar dapat dicegah, didiagnosa dini, dan ditatalaksana dengan cepat dan segera.

B.    Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk membahas lebih lanjut dan menambah wawasan pembaca mengenai PID dalam populasi secara umum, deteksi dini, manifestasi klinis dan cara penatalaksanaannya secara tepat.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi
Pelvic inflammatory disease (PID) adalah penyakit infeksi dan inflamasi pada traktur reproduksi bagian atas, termasuk uterus, tuba fallopi, dan struktur penunjang pelvis. PID merupakan sebuah spektrum infeksi pada traktus genitalia wanita yang termasuk di dalamnya endometritis, salpingitis, tuba-ovarian abses, dan peritonitis.   
PID biasanya disebabkan oleh kolonisasi mikroorganisme di endoserviks yang bergerak ke atas menuju endometrium dan tuba fallopi. Inflamasi dapat timbul kapan saja dan pada titik manapun di traktus genitalia.

B.    Epidemiologi dan Faktor Resiko
Epidemiologi   
PID adalah masalah kesehatan yang cukup sering. Sekitar 1 juta kasus PID terjadi di Amerika Serikat dalam setahun dan total biaya yang dikeluarkan melebihi 7 juta dollar per tahun. Lebih dari seperempat kasus PID membutuhkan rawatan inap. PID menyebabkan 0,29 kematian per 1000 wanita usia 15-44 tahun. Diperkirakan 100000 wanita menjadi infertil diakibatkan oleh PID.
WHO mengalami kesulitan dalam menentukan prevalensi PID akibat dari beberapa hal termasuk kurangnya pengenalan penyakit oleh pasien, kesulitan akses untuk merawat pasien, metode subjektif yang digunakan untuk mendiagnosa, dan kurangnya fasilitas diagnosti pada banyak negara berkembang, dan sistem kesehatan masyarakat yang sangat luas.
Faktor Resiko
Terdapat beberapa faktor resiko terjadinya PID, namun yang utama adalah aktivitas seksual. PID yang timbul setelah periode menstruasi pada wanita dengan aktivitas seksual berjumlah sekitar 85%, sedangkan 15% disebabkan karena luka pada mukosa misalnya akbiat AKDR atau kuretase.
    Resiko juga meningkat berkaitan dengan jumlah pasangan seksual. Wanita dengan lebih dari 10 pasangan seksual cenderung memiliki peningkatan resiko sebesar 3 kali lipat.
    Usia muda juga merupakan salah satu faktor resiko yang disebabkan oleh kurangnya kestabilan hubungan seksual dan mungkin oleh kurangnya imunitas.
    Factor resiko lainnya yaitu pemasangan kontrasepsi, etnik, status postmarital dimana resiko meningkat 3 kali dibanding yang tidak menikah, infeksi bakterial vaginosis, dan merokok. Peningkatan resiko PID ditemukan pada etnik berkulit putih dan pada golongan sosioekonomik rendah. PID sering muncul pada usia 15-19 tahun dan pada wanita yang pertama kali berhubungan seksual.
Pasien yang digolongkan memiliki resiko tinggi untuk PID adalah wanita berusia dibawah 25 tahun, menstruasi, memiliki pasangan seksual yang multipel, tidak menggunakan kontrasepsi, dan tinggal di daerah yang tinggi prevalensi penyakit menular seksual. PID juga sering timbul pada wanita yang pertama kali berhubungan seksual. Pemakaian AKDR meningkatkan resiko PID 2-3 kali lipat pada 4 bulan pertama setelah pemakaian, namun kemudian resiko kembali menurun. Wanita yang tidak berhubungan seksual secara aktif dan telah menjalani sterilisasi tuba, memiliki resiko yang sangat rendah untuk PID.

C.    Etiologi
PID biasanya disebabkan oleh mikroorganisme penyebab penyakit menular seksual seperti N. Gonorrhea dan  C. Trachomatis. Mikroorganisme endogen yang ditemukan di vagina juga sering ditemukan pada traktus genitalia wanita dengan PID. Mikroorganisme tersebut termasuk bakteri anaerob seperti prevotella dan peptostreptokokus seperti G. vaginalis. Bakteri tersebut bersama dengan flora vagina menyebar secara asenden dan secara enzimatis merusak barier mukosa serviks.
N. gonorrhea dan C. Trachomatis telah diduga menjadi agen etiologi utama PID, baik secara tunggal maupun kombinasi. C. trachomatis adalah bakteri intraseluler patogen. Secara klinis, infeksi akibat parasit intraseluler obligat ini bermanifestasi dengan servisitis mukopurulen.
Bakteri fakultatif anaerob dan flora endogen vagina dan perineum juga diduga menjadi agen etiologi potensial untuk PID. Yang termasuk diantaranya adalah Gardnerella vaginalis, Streptokokus agalactiae, Peptostreptokokus, Bakteroides, dan mycoplasma genital, serta ureaplasma genital. Patogen nongenital lain yang dapat menyebabkan PID yaitu haemophilus influenza dan Haemophilus parainfluenza.
Actinomices diduga menyebabkan PID yang dipicu oleh penggunaan AKDR. Pada negara yang kurang berkembang, PID mungkin disebabkan juga oleh salpingitis granulomatosa yang disebabkan Mycobakterium tuberkulosis dan Schistosoma.
   
D.    Patofisiologi
PID disebabkan oleh penyebaran mikroorganisme secara asenden ke traktus genital atas dari vagina dan serviks. Mekanisme pasti yang bertanggung jawab atas penyebaran tersebut tidak diketahui, namun aktivitas seksual mekanis dan pembukaan serviks selama menstruasi mungkin berpengaruh.
Banyak kasus PID timbul dengan 2 tahap. Tahap pertama melibatkan akuisisi dari vagina atau infeksi servikal. Penyakit menular seksual yang menyebabkannya mungkin asimptomatik. Tahap kedua timbul oleh penyebaran asenden langsung mikroorganisme dari vagina dan serviks. Mukosa serviks menyediakan barier fungsional melawan penyebaran ke atas, namun efek dari barier ini mungkin berkurang akibat pengaruh perubahan hormonal yang timbul selama ovulasi dan mestruasi. Gangguan suasana servikovaginal dapat timbul akibat terapi antibiotik dan penyakit menular seksual yang dapat mengganggu keseimbangan flora endogen, menyebabkan organisme nonpatogen bertumbuh secara berlebihan dan bergerak ke atas. Pembukaan serviks selama menstruasi dangan aliran menstrual yang retrograd dapat memfasilitasi pergerakan asenden dari mikrooragnisme. Hubungan seksual juga dapat menyebabkan infeksi asenden akibat dari kontraksi uterus mekanis yang ritmik. Bakteri dapat terbawa bersama sperma menuju uterus dan tuba.
Faktor resiko meningkat pada wanita dengan pasangan seksual multipel, punya riwayat penyakit menular seksual sebelumnya, pernah PID, riwayat pelecehan seksual, berhubungan seksual usia muda, dan mengalami tindakan pembedahan. Usia muda mengalami peningkatan resiko akibat dari peningkatan permeabilitas mucosal serviks, zona servical ektopi yang lebih besar, proteksi antibody chlamidya yang masih rendah, dan peningkatan perilaku beresiko. Prosedur pembedahan dapat menghancurkan barier servikal, sehingga menjadi predisposisi terjadi infeksi.

Figure 16.1 Micro-organisms originating in the endocervix ascend into the
endometrium, fallopian tubes, and peritoneum, causing pelvic inflammatory disease  (endometritis,salpingitis,peritonitis).3

    AKDR telah diduga merupakan predisposisi terjadinya PID dengan memfasilitasi transmisi mikroorganisme ke traktus genitalia atas. Kontrasepsi oral justru mengurangi resiko PID yang simptomatik, mungkin dengan meningkatkan viskositas mukosa oral, menurunkan aliran menstrual antegrade dan retrograde, dan memodifikasi respon imun local.
Pada traktus bagian atas, jumlah mikroba dan factor host memiliki peranan terhadap derajat inflamasi dan parut yang dihasilkan. Infeksi uterus biasanya terbatas pada endometrium, namun dapat lebih invasive pada uterus yang gravid atau postpartum. Infeksi tuba awalnya melibatkan mukosa, tapi inflamasi transmural yang dimediasi komplemen yang bersifat akut dapat timbul cepat dan intensitas terjadinya infeksi lanjutan pun meningkat. Inflamasi dapat meluas ke struktur parametrial, termasuk usus. Infeksi dapat pula meluas oleh tumpahnya materi purulen dari tuba fallopi atau via penyebarana limfatik dalam pelvis menyebabkan peritonitis akut atau perihepatitis akut.

E.    Jenis – Jenis
Beberapa jenis inflamasi yang termasuk PID dan sering ditemukan adalah :
a.    Salpingitis
Mikroorganisme yang tersering menyebabkan salpingitis adalag N. Gonorhea dan C. trachomatis. Salpingitis timbul pada remaja yang memiliki pasangan seksual multiple dan tidak menggunakan kontrasepsi. Gejala meliputi nyeri perut bawah dan nyeri pelvis yang akut. Nyeri dapat menjalar ke kaki. Dapat timbul sekresi vagina. Gejala tambahan berupa mual, muntah, dan nyeri kepala.
Temuan laboratorium yaitu normal leukosit atau leukositosis. Penatalaksanaan adalah dengan antimicrobial terapi. Pasien harus dihospitalisasi, tirah baring, dan diberi pengobatan empirik. Prognosis bergantung pada terapi antimicrobial spectrum luas dan istirahat yang total. Komplikasi berupa hidrosalping, pyosalping, abses tubaovarian, dan infertilitas.
b.    Abses Tuba Ovarian
Abses ini dapat muncul setelah onset salpingitis, namun lebih sering akibat infeksi adnexa yang berulang. Pasien dapat asimptomatik atau dalam keadaan septic shock. Onset ditemukan 2 minggu setelah menstruasi dengan nyeri pelvis dan abdomen, mual, muntah, demam, dan takikardi. Seluruh abdomen tegang dan nyeri. Leukosit dapat rendah, normal, atau sangat meningkat.
Diagnosa diferensial yaitu kista ovarium, neoplasma ovarium, kehamilan ektopik, dan periapendiceal abses. Penatalaksanaan awal dengan antibiotik. Jika massa tidak mengecil setelah 2-3 minggu terapi antibiotic, merupakan indikasi pembedahan.


F.    Diagnosis
Secara tradisional, diagnosa PID didasarkan pada trias tanda dan gejala yaitu, nyeri pelvik, nyeri pada gerakan serviks, dan nyeri tekan adnexa, dan adanya demam. Namun, saat ini telah terdapat beberapa variasi gejala dan tanda yang membuat diagnosis PID lebih sulit. beberapa wanita yang mengidap PID bahkan tidak bergejala.
Penegakan diagnosa dimulai dengan anemnese, dimana pasien dapat mengeluhkan gejala yang bervariasi. Gejala muncul pada saat awal siklus menstruasi atau pada saat akhir menstruasi. Nyeri abdomen bagian bawah dijumpai pada 90% kasus dengan kriteria nyeri tumpul, bilateral, dan konstan. Nyeri diperburuk oleh gerakan, olahraga, atau koitus. Nyeri dapat juga dirasakan seperti tertusuk, terbakar, atau kram. Nyeri biasanya berdurasi <7 hari.
Sekresi cairan vagina terjadi pada 75% kasus. Demam dengan suhu >38º, mual, dan muntah. Gejala tambahan yang lain meliputi perdarahan per vaginam, nyeri punggung bawah, dan disuria. Nyeri organ pelvis dijumpai pada PID. Adanya nyeri pada pergerakan serviks menandakan adanya inflamasi peritoneal yang menyebabkan nyeri saat peritoneum teregang pada pergerakan serviks dan menyebabkan tarikan pada adnexa.
PID dapat didiagnosa dengan riwayat nyeri pelvis, sekresi cairan vagina, nyeri tekan adnexa, demam, dan peningkatan leukosit.
1.    Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, biasanya didapati :
•    Nyeri tekan perut bagian bawah
•    Pada pemeriksaan pelvis dijumpai : sekresi cairan mukopurulen, nyeri pada pergerakan serviks, nyeri tekan uteri, nyeri tekan adnexa yang bilateral
•    Mungkin ditemukan adanya massa adnexa
Beberapa tanda tambahan adalah :
•    Suhu oral lebih dari 38ºC
2.    Pemeriksaan Laboratorium
•    Pada pemeriksaan darah rutin dijumpai jumlah leukosit lebih dari 100.000 pada 50% kasus. Hitung leukosit mungkin normal, meningkat, atau menurun, dan tidak dapat digunakan untuk menyingkirkan PID.
•    Peningkatan erythrocyte sediment rate digunakan untuk membantu diagnose namun tetap tidak spesifik.
•    Peningkatan c-reaktif protein, tidak spesifik.
•    Pemeriksaan DNA dan kultur gonorrhea dan chlamidya digunakan untuk mengkonfirmasi PID.
•    Urinalisis harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran kemih.
3.    Pemeriksaan Radiologi
•    Transvaginal ultrasonografi : pemeriksaan ini memperlihatkan adnexa, uterus, termasuk ovaroium. Pada pemeriksaan ini PID akut Nampak dengan adanya ketebalan dinding tuba lebih dari 5 mm, adanya septa inkomplit dalam tuba, cairan mengisi tuba fallopi, dan tanda cogwheel. Tuba fallopi normal biasanya tidak terlihat pada USG.
•    CT digunakan untuk mendiagnosa banding PID. Penemuan CT pada PID adalah servisitis, ooforitis, salpingitis, penebalan ligament uterosakral, dan adanya abses atau kumpulan cairan pelvis. Penemuan CT scan tidak spesifik pada kasus PID dimana tidak bukati abses.
•    MRI jarang mengindikasikan PID. Namun jika digunakan akan terlihat penebalan, tuba yang berisi cairan dengan atau tanpa cairan pelvis bebas atau kompleks tubaovarian.
4.    Prosedur Lain
Laparoskopi adalah standar baku untuk diagnosis defenitif PID. Mengevaluasi cairan di dalam abdomen dilakukan untuk menginterpretasi kerusakan. Pus menunjukkan adanya abses tubaovarian, rupture apendiks, atau abses uterin. Darah ditemukan pada ruptur kehamilan ektopik, kista korpus luteum, mestruasi retrograde, dll.
Criteria minimum pada laparoskopi untuk mendiagnosa PID adalah edema dinding tuba, hyperemia permukaan tuba, dan adanya eksudat pada permukaan tuba dan fimbriae. Massa pelvis akibat abses tubaovarian atau kehamilan ektopik dapat terlihat.
Endometrial biopsi dapat dilakukan untuk mendiagnosa endometritis secara histopatologis.  
G.    Diagnosa Differensial
Beberapa diagnosa banding untuk PID adalah :
1.    Tumor adnexa
2.    Appendicitis
3.    Servisitis
4.    Kista ovarium
5.    Torsio ovarium
6.    Aborsi spontan
7.    Infeksi saluran kemih
8.    Kehamilan ektopik
9.    Endometriosis

H.    Pencegahan
Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
1.    Pencegahan dapat dilakukan dengan mecegah terjadi infeksi yang disebabkan oleh kuman penyebab penyakit menular seksual, terutama chlamidya. Peningkatan edukasi masyarakat, penapisan rutin, diagnosis dini, serta penanganan yang tepat terhadap infeksi chlamidya berpengaruh besar dalam menurunkan angka PID. Edukasi hendaknya focus pada metode pencegahan penyakit menular seksual, termasuk setia terhadap satub pasangan, menghindari aktivitas seksual yang tidak aman, dan menggunakan pengaman secara rutin.
2.    Adanya program penapisan penyakit menular seksual dapat mencegah terjadinya PID pada wanita. Mengadakan penapisan terhadap pria perlu dilakukan untuk mencegah penularan kepada wanita.
3.    Pasien yang telah didiagnosa dengan PID atau penyakit menular seksual harus diterapi hingga tuntas, dan terapi juga dilakukan terhadap pasangannya untuk mencegah penularan kembali.
4.    Wanita usia remaja harus menghindari aktivitas seksual hingga usia 16 tahun atau lebih.
5.    Kontrasepsi oral dikatakan dapat mengurangi resiko PID.
6.    Semua wanita berusia 25 tahun ke atas harus dilakukan penapisan terhadap chlamidya tanpa memandang faktor resiko.
I.    Penatalaksanaan
CDC memperbaharui panduan untuk diagnosis dan manajemen PID. Panduan CDC terbaru membagi criteria diagnostic menjadi 3 grup :
1.    Grup 1 : minimum kriteria dimana terapi empiris diindikasikan bila tidak ada etiologi yang dapat dijelaskan. Kriterianya yaitu adanya nyeri tekan uterin atau adnexa dan nyeri saat pergerakan serviks.
2.    Grup 2 : kriteria tambahan mengembangkan spesifisitas diagnostic termasuk kriteria berikut : suhu oral >38,3ºC, adanya secret mukopurulen dari servical atau vaginal, peningkatan erythrocyte sedimentation rate, peningkatan c-reactif protein, adanya bukti laboratorium infeksi servikalis oleh N. gonorhea atau C. trachomatis.
3.    Grup 3 : kriteria spesifik untuk PID didasarkan pada prosedur yang tepat untuk beberapa pasien yaitu konfirmasi laparoskopik, ultrasonografi transvaginal yang memperlihatkan penebalan, tuba yang terisi cairan dengan atau tanpa cairan bebas pada pelvis, atau kompleks tuba-ovarian, dan endometrial biopsy yang memperlihatkan endometritis.
Kebanyakan pasien diterapi dengan rawatan jalan, namun terdapat indikasi untuk dilakukan hospitalisasi yaitu :
•    Diagnosis yang tidak jelas
•    Abses pelvis pada ultrasonografi
•    Kehamilan
•    Gagal merespon dengan perawatan jalan
•    Ketidakmampuan untuk bertoleransi terhadap regimen oral
•    Sakit berat atau mual muntah
•    Imunodefisiensi
•    Gagal untuk membaik secara klinis setelah 72 jam terapi rawat jalan
Terapi dimulai dengan terapi antibiotik empiris spectrum luas. Jika terdapat AKDR, harus segera dilepas setelah pemberian antibiotic empiris pertama. Terapi terbagi menjadi 2 yaitu terapi untuk pasien rawat inap dan rawat jalan.
Terapi pasien rawatan inap
Regimen A : berikan cefoxitin 2 gram iv atau cefotetan 2 gr iv per 12 jam ditambah doxisiklin 100 mg per oral atau iv per 12 jam. Lanjutkan regimen ini selama 24 jam setelah pasien pasien membaik secara klinis, lalu mulai doxisiklin 100 mg per oral 2 kali sehari selama 14 hari. Jika terdapat abses tubaovarian, gunakan metronoidazole atau klindamisin untuk menutupi bakteri anaerob.
Regimen B : berikan clindamisin 900 mg iv per 8 jam tambah gentamisin 2 mg/kg BB dosis awal iv diikuti dengan dosis lanjutan 1,5 mg/kg BB per 8 jam. Terapi iv dihentikan 24 jam setelah pasien membaik secara klinis, dan terapi per  oral 100 mg doxisiklin dilanjutkan hingga 14 hari.
Terapi pasien rawatan jalan
Regimen A : berikan ceftriaxone 250 mg im dosis tunggal tambah doxisiklin 100 mg oral 2 kali sehari selama 14 hari, dengan atau tanpa metronidazole 500 mg 2 kali sehari selama 14 hari.
Regimen B : berikan cefoxitin 2 gr im dosis tunggal dan proibenecid 1 gr per oral dosis tunggal atau dosis tunggal cephalosporin generasi ketiga tambah dozisiklin 100 mg oral 2 kali sehari selama 14 hari dengan atau tanpa metronidazole 500 mg oral 2 kali sehari selama 14 hari.
Pasien dengan terapi intravena dapat digantika dengan terapi per oral setelah 24 jam perbaikan klinis. Dan dilanjutkan hingga total 14 hari. Penanganan juga termasuk penanganan simptomatik seperti antiemetic, analgesia, antipiretik, dan terapi cairan.
Terapi Pembedahan
Pasien yang tidak mengalami perbaikan klinis setelah 72 jam terapi harus dievaluasi ulang bila mungkin dengan laparoskopi dan intervensi pembedahan. Laparotomi digunakan untuk kegawatdaruratan sepeti rupture abses, abses yang tidak respon terhadap pengobatan, drainase laparoskopi. Penanganan dapat pula berupa salpingoooforektomi, histerektomi, dan bilateral salpingooforektomi. Idealnya, pembedahan dilakukan bila infeksi dan inflamasi telah membaik.

J.    Prognosis
Prognosis pada umunya baik jika didiagnosa dan diterapi segera.2 Terapi dengan antibiotik memiliki angka kesuksesan sebesar 33-75%. Terapi pembedahan lebih lanjut dibutuhkan pada 15-20% kasus. Nyeri pelvis kronik timbul oada 25% pasien dengan riwayat PID. Nyeri ini disangka berhubungan dengan perubahan siklus menstrual, tapi dapat juga sebagai akibat perlengketan atau hidrosalping. Gangguan fertilitas adalah masalah terbesar pada wanita dengan riwayat PID. Rerata infertilitas meningkat seiring dengan peningkatan frekuensi infeksi. Resiko kehamilan ektopik meningkat pada wanita dengan riwayat PID sebagai akibat kerusakan langsung tuba fallopi.

K.    Komplikasi
Abses tuba ovarian adalah komplikasi tersering dari PID akut, dan timbul pada sekitar 15-30% wanita yang dirawat inap di RS. Sekuele yang berkepanjangan, termasuk nyeri pelvis kronik, kehamilan ektopik, infertilitas, dan kegagalan implantasi dapat timbul pada 25% pasien. Lebih dari 100000 wanita diperkirakan akan mengalami infertilitas akibat PID.
Keterlambatan diagnosis dan penatalaksanaan dapat menyebabkan sekuele seperti infertilitas. Mortalitas langsung muncul pada 0,29 pasien per 100000 kasus pada wanita usia 15-44 tahun. Penyebab kematian yang utama adalah rupturnya abses tuba-ovarian. Kehamilan ektopik 6 kali lebih sering terjadi pada wanita dengan PID.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pelvic inflammatory disease (PID) adalah penyakit infeksi dan inflamasi pada traktur reproduksi bagian atas, termasuk uterus, tuba fallopi, dan struktur penunjang pelvis. PID biasanya disebabkan oleh mikroorganisme penyebab penyakit menular seksual seperti N. Gonorrhea dan  C. Trachomatis. PID disebabkan oleh penyebaran mikroorganisme secara asenden ke traktus genital atas dari vagina dan seviks. Mekanisme pasti yang bertanggung jawab atas penyebaran tersebut tidak diketahui, namun aktivitas seksual mekanis dan pembukaan serviks selama menstruasi mungkin berpengaruh. Secara tradisional, diagnose PID didasarkan pada trias tanda dan gejala yaitu, nyeri pelvic, nyeri pada gerakan serviks, dan nyeri tekan adnexa, dan adanya demam. Laparoskopi adalah standar baku untuk diagnosis defenitif PID. Terapi dimulai dengan terapi antibiotik empiris spectrum luas. Penanganan juga termasuk penanganan simptomatik seperti antiemetic, analgesia, antipiretik, dan terapi cairan. Pasien yang tidak mengalami perbaikan klinis setelah 72 jam terapi harus dievaluasi ulang bila mungkin dengan laparoskopi dan intervensi pembedahan. Prognosis pada umunya baik jika didiagnosa dan diterapi segera. Prognosis pada umunya baik jika didiagnosa dan diterapi segera.


DAFTAR PUSTAKA

Berek, Jonathan S. 2007. Pelvic Inflammatory Disease dalam Berek & Novak’s Gynekology 14th Edition. California : Lippincott William & Wilkins.
Edmonds, Keith D. 2007. The Role of Ultrasound in Gynaecology dalam Dewhurst’s Textbook of Obstetric and Gynaecology 7th edition. London : Blackwell Publishing.
Mudgil, Shikha. 2009. Pelvic Inflammatory Disease/Tubo-ovarian Abscess. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/404537-print [diperbaharui tanggal 16 Maret 2013]
Pernoll, Martin L. 2001. Pelvic Inflammatory Disease dalam Benson & Pernoll’s handbook of Obstetric and Gynecology 10th edition. USA : McGrawhill Companies.
Reyes, Iris. Pelvic Inflammatory Disease. 2010. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/796092-print [diperbaharui tanggal 16 Maret 2013]
Shepherd, Suzanne M. Pelvic Inflammatory Disease. 2010. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/256448-print [diperbaharui tanggal 16 Maret 2013]
http://modulkesehatan.blogspot.com/

Makalah Kesehatan Reproduksi Remaja

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Data demografi menunjukkan bahwa remaja merupakan populasi yang besar dari penduduk dunia, WHO (1995) sekitar seperlima dari penduduk dunia adalah remaja. Sekitar 900 juta berada di negara sedang berkembang. Di Indonesia menurut Biro PusatStatistik (1999) kelompok remaja adalah sekitar 22% yang terdiri dari 50,9% remaja lakilaki dan 49,1% remaja perempuan (dikutip dari Nancy P, 2002).
Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, yang dimulai pada saat terjadinya kematangan seksual. Remaja tidak mempunyai tempat yang jelas, yaitu bahwa mereka tidak termasuk golongan anak-anak tetapi tidak juga termasuk golongan dewasa. Perkembangan biologis dan psikologis remaja dipengaruhi oleh perkembangan lingkungan dan sosial. Oleh karena itu remaja akan berjuang untuk melepaskan ketergantungannya kepada orang tua dan berusaha mencapai kemandirian sehingga mereka dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Memasuki masa remaja yang diawali dengan terjadinya kematangan seksual, maka remaja akan dihadapkan pada keadaan yang memerlukan penyesuaian untuk dapatmenerima perubahan-perubahan yang terjadi. Kematangan seksual dan terjadinya perubahan bentuk tubuh sangat berpengaruh pada kehidupan kejiwaan remaja.
Masalah remaja (usia >10-1,9 tahun) merupakan masalah yang perlu diperhatikan dalam pembangunan nasional di Indonesia. Masalah remaja terjadi, karena mereka tidak dipersiapkan mengenai pengetahuan tentang aspek yang berhubungan dengan masalah peralihan dari masa anak ke dewasa. Masalah kesehatan remaja mencakup aspek fisik biologis dan mental, sosial. Perubahan fisik yang pesat dan perubahan endokrin/ hormonal yang sangat dramatik merupakan pemicu masalah kesehatan remaja serius karena timbuhnya dorongan motivasi seksual yang menjadikan remaja rawan terhadap penyakit dan masalah kesehatan reproduksi, kehamilan remaja dengan segala konsekuensinya yaitu: hubungan seks pranikah, aborsi, PMS & RIV-AIDS serta narkotika.
Permasalahan remaja seringkali berakar dari kurangnya informasi dan pemahaman serta kesadaran untuk mencapai sehat secara reproduksi. Di sisi lain, remaja sendiri mengalami perubahan fisik yang cepat. Akses untuk mendapatkan informasi bagi remaja banyak yang tertutup. Dengan memperluas akses informasi tentang kesehatan reproduksi remaja yang benar dan jujur bagi remaja akan membuat remaja makin sadar terhadap tanggung jawab perilaku reproduksinya. Dengan makin banyaknya persoalan kesehatan reproduksi remaja, maka pemberian informasi, layanan dan pendidikan kesehatan reproduksi remaja menjadi sangat penting.

B.    Rumusan Masalah
Masalah yang ingin dibahas dalam penulisan makalah ini adalah bagaimana tentang kesehatan reproduksi remaja.

C.    Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana tentang kesehatan reproduksi remaja.

D.    Manfaat
Manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini agar :
a.    Penulis mendapatkan pengetahuan dan pemahaman tentang kesehatan reproduksi remaja
b.    Pembaca memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang kesehatan reproduksi remaja

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian
1.    Kesehatan Reproduksi
Kesehatan reproduksi menurut WHO adalah suatu keadaan fisik, mental dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Atau Suatu keadaan dimana manusia dapat menikmati kehidupan seksualnya serta mampu menjalankan fungsi dan proses reproduksinya secara sehat dan aman.
Pengertian lain kesehatan reproduksi dalam Konferensi International Kependudukan dan Pembangunan, yaitu kesehatan reproduksi adalah keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang utuh dalam segala hal yang berkaitan dengan fungsi, peran & sistem reproduksi.
Kesehatan reproduksi remaja adalah suatu kondisi sehat yang menyangkut sistem, fungsi dan proses reproduksi yang dimiliki oleh remaja. Pengertian sehat disini tidak semata-mata berarti bebas penyakit atau bebas dari kecacatan namun juga sehat secara mental serta sosial kultural (Fauzi., 2008).
2.    Remaja
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), remaja (adolescence) adalah mereka yang berusia 10-19 tahun. Sementara dalam terminologi lain PBB menyebutkan anak muda (youth) untuk mereka yang berusia 15-24 tahun. Ini kemudian disatukan dalam sebuah terminologi kaum muda (young people) yang mencakup 10-24 tahun.
Dalam program BKKBN disebutkan bahwa remaja adalah mereka yang berusia antara 10-24 tahun. Menurut Hurlock (1993), masa remaja adalah masa yang penuh dengan kegoncangan, taraf mencari identitas diri dan merupakan periode yang paling berat.
Masa remaja adalah masa transisi yang ditandai oleh adanya perubahan fisik, emosidan psikis. Masa remaja adalah suatu periode masa pematangan organ reproduksi manusia, dan sering disebut masa peralihan. Masa remaja merupakan periode peralihan dari masa anak ke masa dewasa.

B.    Tumbuh Kembang Remaja
Tumbuh kembangnya seorang remaja menuju dewasa, berdasarkan kematangan psikososial dan seksual. Semua remaja akan melewati tahapan berikut :
1.    Masa remaja awal/dini (early adolescence) : umur 11 – 13 tahun.
Dengan ciri khas : ingin bebas, lebih dekat dengan teman sebaya, mulai berfikir abstrak dan lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya.
2.    Masa remaja pertengahan (middle adolescence) : umur 14 – 16 tahun.
Dengan ciri khas : mencari identitas diri, timbul keinginan untuk berkencan, berkhayal tentang seksual, mempunyai rasa cinta yang mendalam.
3.    Masa remaja lanjut (late adolescence) : umur 17 – 20 tahun.
Dengan ciri khas : mampu berfikir abstrak, lebih selektif dalam mencari teman sebaya,mempunyai citra jasmani dirinya, dapat mewujudkan rasa cinta, pengungkapan kebebasan diri.
Tahapan ini mengikuti pola yang konsisten untuk masing-masing individu. Walaupun setiap tahap mempunyai ciri tersendiri tetapi tidak mempunyai batas yang jelas, karena proses tumbuh kembang berjalan secara berkesinambungan.
Terdapat ciri yang pasti dari pertumbuhan somatik pada remaja, yaitu peningkatan massa tulang, otot, massa lemak, kenaikan berat badan, perubahan biokimia, yang terjadi pada kedua jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan walaupun polanya berbeda.
a.    Pertumbuhan fisik pada remaja perempuan :
1)    Mulai menstruasi.
2)    Payudara dan pantat membesar.
3)    Indung telur membesar.
4)    Kulit dan rambut berminyak dan tumbuh jerawat.
5)    Vagina mengeluarkan cairan.
6)    Mulai tumbuh bulu di ketiak dan sekitar vagina.
7)    Tubuh bertambah tinggi.
b.    Perubahan fisik yang terjadi pada remaja laki-laki :
1)    Terjadi perubahan suara mejadi besar dan mantap.
2)    Tumbuh bulu disekitar ketiak dan alat kelamin.
3)    Tumbuh kumis.
4)    Mengalami mimpi basah.
5)    Tumbuh jakun.
6)    Pundak dan dada bertambah besar dan bidang.
7)    Penis dan buah zakar membesar.
c.    Perubahan psikis juga terjadi baik pada remaja perempuan maupun remaja laki-laki, mengalami perubahan emosi, pikiran, perasaan, lingkungan pergaulan dan tanggung jawab, yaitu :
1)    Remaja lebih senang berkumpul diluar rumah dengan kelompoknya.
2)    Remaja lebih sering membantah atau melanggar aturan orang tua.
3)    Remaja ingin menonjolkan diri atau bahkan menutup diri.
4)    Remaja kurang mempertimbangkan maupun menjadi sangat tergantung pada kelompoknya.
5)    Hal tersebut diatas menyebabkan remaja menjadi lebih mudah terpengaruh oleh hal-hal yang negatif dari lingkungan barunya.
Selain yang terlihat di luar, perubahan juga terjadi di dalam tubuh dan tidak tampak dari luar. Otak akan mengeluarkan zat-zat kimia yang disebut hormon.Hormon ini akan mempengaruhi perubahan fisik dan emosi seseorang pada masa pubertas, terutama: Estrogen dan Progesteron pada remaja perempuan, diproduksi indung telur Testosteron pada remaja laki-laki, diproduksi oleh testis. Hormon-hormon yang mempengaruhi perubahan alat-alat reproduksi dari anak menjadi remaja:
Pada remaja perempuan: rahim, saluran telur, indung telur, rongga panggul dan vagina tumbuh seakan bersiap untuk melakukan fungsi dan proses reproduksi yang ditandai dengan adanya siklus Menstruasi.
Pada remaja laki-laki: prostat dan seminal, uretra (saluran kencing), testis (buah zakar), dan penis juga tumbuh membesar dan mulai mengeluarkan cairan yang gunanya sebagai tempat berkembangnya sperma serta diproduksinya sperma yang ditandai dengan  Mimpi Basah
Menstruasi
Siklus menstruasi meliputi :
•    Indung telur mengeluarkan telur (ovulasi) kurang lebih 14 hari sebelum menstruasi yang akan datang.
•    Telur berada dalam saluran telur, selaput lendir rahim menebal.
•    Telur berada dalam rahim, selaput lendir rahim menebal dan siap menerima hasil pembuahan.
•    Bila tidak ada pembuahan, selaput rahim akan lepas dari dinding rahim dan terjadi perdarahan. Telur akan keluar dari rahim bersama darah.
Masa subur adalah 14 hari sebelum menstruasi berikutnya.
•    Bila sel telur dalam perjalanannya menuju dinding rahim (masa subur) tidak bertemu dengan sel sperma (artinya, tidak terjadi hubungan seksual pada masa subur), maka sel telur beserta lapisan dalam dinding rahim tempatnya bersarang luruh dan keluar melalui lubang vagina sebagai darah haid/menstruasi.
•    Setelah haid selesai (5 – 7 hari), indung telur mulai bersiap untuk melepas sel telur berikutnya, di bawah pengaruh hormon estrogen
•    Demikian seterusnya setiap bulan, sehingga siklus haid dianggap siklus bulanan, dan haid dikatakan “datang bulan”
•    Rasa nyeri (kram) perut yang menyertai bisa ringan, tetapi bila sangat nyeri, dianjurkan untuk diperiksakan ke dokter. Panjang siklus menstruasi berbeda-beda setiap perempuan. Ada yang 26 hari, 28 hari, 30 hari, atau bahkan ada yang 40 hari. Lama menstruasi pada umumnya 5 hari, namun kadang-kadang ada yang lebih cepat 2 hari atau bahkan sampai 5 hari. Jumlah seluruh darah yang dikeluarkan biasanya antara 30 – 80 ml.
Mimpi Basah
Ketika seseorang laki-laki memasuki masa pubertas, terjadi pematangan sperma didalam testis. Sperma yang telah diproduksi ini akan dikeluarkan melalui Vas Deferens kemudian berada dalam cairang mani yang diproduksi oleh kelenjar prostat. Air mani yang telah mengandung sperma ini akan keluar yang disebut ejakulasi. Ejakulasi yang tanpa rangsangan yang nyata disebut mimpi basah.
C.    Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesehatan Reproduksi Remaja
Kesehatan reproduksi remaja dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu:
1.    Kebersihan organ-organ genital
2.    Akses terhadap pendidikan kesehatan
3.    Hubungan seksual pranikah
4.    Penyalahgunaan NAPZA
5.    Pengaruh media massa
6.    Akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi
7.    Hubungan harmonis dengan keluarga
D.    Masalah Kesehatan Reproduksi Remaja
Kuatnya norma sosial yang menganggap seksualitas adalah tabu akan berdampak pada kuatnya penolakan terhadap usulan agar pendidikan seksualitas terintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan. Sekalipun sejak reformasi bergulir hal ini telah diupayakan oleh sejumlah pihak seperti organisasi-organisasi non pemerintah (NGO), dan juga pemerintah sendiri (khususnya Departemen Pendidikan Nasional), untuk memasukkan seksualitas dalam mata pelajaran ’Pendidikan Reproduksi Remaja’, namun hal ini belum sepenuhnya mampu mengatasi problem riil yang dihadapi remaja. Faktanya, masalah terkait seksualitas dan kesehatan reproduksi masih banyak dihadapi oleh remaja. Masalah-masalah tersebut antara lain :
1.    Perkosaan
Kejahatan perkosaan ini biasanya banyak sekali modusnya. Korbannya tidak hanya remaja perempuan, tetapi juga laki-laki (sodomi). Remaja perempuan rentan mengalami perkosaan oleh sang pacar, karena dibujuk dengan alasan untuk menunjukkan bukti cinta.
2.    Free sex
Seks bebas ini dilakukan dengan pasangan atau pacar yang berganti-ganti. Seks bebas pada remaja ini (di bawah usia 17 tahun) secara medis selain dapat memperbesar kemungkinan terkena infeksi menular seksual dan virus HIV (Human Immuno Deficiency Virus), juga dapat merangsang tumbuhnya sel kanker pada rahim remaja perempuan. Sebab, pada remaja perempuan usia 12-17 tahun mengalami perubahan aktif pada sel dalam mulut rahimnya. Selain itu, seks bebas biasanya juga dibarengi dengan penggunaan obat-obatan terlarang di kalangan remaja. Sehingga hal ini akan semakin memperparah persoalan yang dihadapi remaja terkait kesehatan reproduksi ini.
3.    Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD)
Hubungan seks pranikah di kalangan remaja didasari pula oleh mitos-mitos seputar masalah seksualitas. Misalnya saja, mitos berhubungan seksual dengan pacar merupakan bukti cinta. Atau, mitos bahwa berhubungan seksual hanya sekali tidak akan menyebabkan kehamilan. Padahal hubungan seks sekalipun hanya sekali juga dapat menyebabkan kehamilan selama si remaja perempuan dalam masa subur.
4.    Aborsi
Aborsi merupakan keluarnya embrio atau janin dalam kandungan sebelum waktunya. Aborsi pada remaja terkait KTD biasanya tergolong dalam kategori aborsi provokatus, atau pengguguran kandungan yang sengaja dilakukan. Namun begitu, ada juga yang keguguran terjadi secara alamiah atau aborsi spontan. Hal ini terjadi karena berbagai hal antara lain karena kondisi si remaja perempuan yang mengalami KTD umumnya tertekan secara psikologis, karena secara psikososial ia belum siap menjalani kehamilan. Kondisi psikologis yang tidak sehat ini akan berdampak pula pada kesehatan fisik yang tidak menunjang untuk melangsungkan kehamilan.
5.    Perkawinan Dan Kehamilan Dini
Nikah dini ini, khususnya terjadi di pedesaan. Di beberapa daerah, dominasi orang tua biasanya masih kuat dalam menentukan perkawinan anak dalam hal ini remaja perempuan. Alasan terjadinya pernikahan dini adalah pergaulan bebas seperti hamil di luar pernikahan dan alasan ekonomi. Remajayang menikah dini, baik secara fisik maupun biologis belum cukup matang untukmemiliki anak sehingga rentan menyebabkan kematian anak dan ibu pada saat melahirkan. Perempuan dengan usia kurang dari 20 tahun yang menjalani kehamilansering mengalami kekurangan gizi dan anemia. Gejala ini berkaitan dengan distribusimakanan yang tidak merata, antara janin dan ibu yang masih dalam tahap proses pertumbuhan.
6.    IMS (Infeksi Menular Seksual) atau PMS (Penyakit Menular Seksual), dan HIV/AIDS.
IMS ini sering disebut juga penyakit kelamin atau penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual. Sebab IMS dan HIV sebagian besar menular melalui hubungan seksual baik melalui vagina, mulut, maupun dubur. Untuk HIV sendiri bisa menular dengan transfusi darah dan dari ibu kepada janin yang dikandungnya. Dampak yang ditimbulkannya juga sangat besar sekali, mulai dari gangguan organ reproduksi, keguguran, kemandulan, kanker leher rahim, hingga cacat pada bayi dan kematian.

E.    Penanganan Masalah Kesehatan Reproduksi Remaja
Ruang lingkup masalah kesehatan reproduksi perempuan dan laki-laki menggunakan pendekatan siklus kehidupan. Berdasarkan masalah yang terjadi pada setiap fase kehidupan, maka upaya- upaya penanganan masalah kesehatan reproduksi remaja sebagai berikut :
1.    Gizi seimbang.
2.    Informasi tentang kesehatan reproduksi.
3.    Pencegahan kekerasan, termasuk seksual.
4.    Pencegahan terhadap ketergantungan NAPZA.
5.    Pernikahan pada usia wajar.
6.    Pendidikan dan peningkatan ketrampilan.
7.    Peningkatan penghargaan diri.
8.    Peningkatan pertahanan terhadap godaan dan ancaman.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Masalah kesehatan remaja mencakup aspek fisik biologis dan mental, sosial. Perubahan fisik yang pesat dan perubahan endokrin/ hormonal yang sangat dramatik merupakan pemicu masalah kesehatan remaja serius karena timbuhnya dorongan motivasi seksual yang menjadikan remaja rawan terhadap penyakit dan masalah kesehatan reproduksi, kehamilan remaja dengan segala konsekuensinya yaitu: hubungan seks pranikah, aborsi, PMS & RIV-AIDS serta narkotika. Permasalahan remaja seringkali berakar dari kurangnya informasi dan pemahaman serta kesadaran untuk mencapai sehat secara reproduksi. Di sisi lain, remaja sendiri mengalami perubahan fisik yang cepat. Harus ada keyakinan bersama bahwa membangun generasi penerus yang berkualitas perlu dimulai sejak anak, bahkan sejak dalam kandungan.
Pemberian informasi ini dengan tujuan meningkatkan pengetahuan yang pada gilirannya mampu memberikan pilihan kepada remaja untuk bertindak secara bertanggung jawab, baik kepada dirinya maupun keluarga dan masyarakat.

B.    Saran
1.    Perlu dibangun komitmen bersama antar elemen, baik pemerintah maupun masyarakat yang menetapkan kesehatan reproduksi remaja sebagai agenda/isu bersama dan penting.
2.    Perlu pendekatan kepada pihak yang berkompeten dalam pembinaan remaja melalui pembekalan.


DAFTAR PUSTAKA

Harris, Robie H. Changing Bodies, Growing Up, Sex, and Sexual Health: It’s
Perfectly Normal. Cambridge, MD: Candlewick Press, 1996.
Mukhatib MD. 2009. Problem Kesehatan Reproduksi Remaja: Tawaran Solusi, disampaikan pada Seminar Nasional Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi Remaja di PP.

Senin, 20 Mei 2013

Makalah Tingkat Kesuburan

BAB  I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Tingkat kesuburan masyarakat mempengaruhi kesehatan reproduksi yang merupakan bagian penting dan merupakan paling utama dalam upaya mencapai kehidupan yang berkualitas karena kesehatan reproduksi merupakan refleksi dari kesehatan konsepsi, kesehatan anak, remaja dan masa dewasa, dengan demikian kesehatan reproduksi menentukan kesehatan wanita dan pria serta generasi selanjutnya.
Fertilitas ialah kemampuan seorang wanita untuk hamil dan melahirkan anak hidup oleh pria yang mampu menghamilinya. Jadi, fertilitas merupakan kemampuan fungsi satu pasangan yang sanggup menjadikan kehamilan dan kelahiran anak hidup. Sebelum dan sesudahnya tidak seorangpun tahu, apakah pasangan itu  fertil atau tidak. Riwayat fertilitas sebelumnya sama sekali tidak menjamin fertilitas dikemudian hari, baik pada pasangan itu sendiri maupun berlainan pasangan.
Penyelidikan lamanya waktu yang diperlukan untuk menghasilkan kehamilan menunjukkan bahwa 32,7% hamil dalam satu bulan pertama, 57% dalam 3 bulan, 72,1% dalam 6 bulan, 85,4% dalam12 bulan, dan 93,4% dalam 24 bulan. Waktu median yang diperlukan untuk menghasilkan kehamilan ialah 2,3 bulan sampai 2,8 bulan. Makin lama pasangan itu kawin tanpa kehamilan, makin turun kejadian kehamilannya. Oleh karena itu, kebanyakan dokter baru menganggap ada masalah infertilitas kalau pasangan yang ingin punya anak, dihadapkan pada kemungkinan kehamilan lebih dari 12 bulan.
Infertilitas merupakan ketidakmampuan seorang wanita untuk menjadi hamil dan melahirkan anak, dengan melakukan hubungan seksual secara rutin dan teratur selama satu tahun berkumpul bersama. Disebut Infertilitas primer,  kalau istri belum pernah hamil selama 12 bulan walaupun bersenggama secara rutin. Dan disebut infertilitas sekunder,  kalau istri pernah hamil, akan tetapi  kemudian tidak terjadi kehamilan lagi walaupun bersenggama.
Berdasarkan catatan WHO , di dunia ada sekitar 50-80 juta pasangan suami istri mempunyai problem infertilitas dan setiap tahunnya muncul sekitar 2 juta pasangan infertil baru. Tidak tertutup kemungkinan jumlah itu akan terus meningkat.

B.    Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian dari  fertilitas dan  infertilitas ?
2.    Apa saja penyabab terjadinya infertilitas ?
3.    Bagaimana perkembangan masalah infertilitas sampai saat ini ?
4.    Upaya-upaya apa sajakah yang harus dilakukan oleh bidan untuk mengatasi masalah infertilitas ?

C.    Tujuan
1.    Umum
Mengetahui perkembangan masalah infertilitas serta upaya-upaya apa sajakah yang harus direncanakan untuk mengatasi masalah infertilitas.
2.    Khusus
a.    Mengetahui definisi  ferilitas dan infertilitas
b.    Mengetahui macam infertilitas
c.    Mengetahui prevalensi  infertil
d.    Mengetahui penyebab-penyebab terjadinya masalah infertilitas


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian
Tingkat kesuburan seseorang memegang peranan yang sangat penting bagi pria dan wanita yang akan atau sudah berumahtangga. Hal ini di maksudkan agar pasangan suami isteri dapat menjaga keharmonisan rumah tangganya dan mereka juga bisa meneruskan generasi mereka, yaitu menghasilkan seorang anak. Lebih dari 80%  pasangan suami isteri yang mengalami gangguan kesuburan dan ini banyak sekali terjadi pada negara yang sedang berkembang. 7-15% diantaranya masih tergolong ke dalam usia 15 - 40 tahun dengan rating tertinggi dialami oleh para wanita sebesar 40% sampai dengan 60%.
Tingkat kesuburan dibedakan menjadi 2 yaitu
1.    Fertilitas.
Fertilitas adalah kemampuan  istri menjadi hamil dan melahirkan anak hidup oleh suami yang mampu menghamilinya.
2.    Infertilitas
a.    Pengertian.
Infertilitas adalah suatu keadaan pasangan suami istri yang ingin mempunyai anak tetapi tidak bisa mewujudkan keinginannya tersebut karena adanya masalah kesehatan reproduksi baik pada suami atau istri.
b.    Pembagian infertilitas
Infertilitas dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :
1)    Infertilitas primer
Infertilitas primer adalah pasangan usia subur yang telah melakukan hubungan suami istri teratur 2-3 kali semingggu tanpa memakai alat kontrasepsi selama 1 tahun tetapi belum terjadi kehamilan juga.



2)    Infertilitas Sekunder
Infertilitas sekunder adalah pasangan usia subur yang telah punya anak dan sudah tidak menggunakan alat kontrasepsi serta melakukan hubungan suami istri teratur 2 – 3 kali tetapi belum hamil juga.
Infertilitas menurut WHO :
a.    Infertilitas primer adalah pasangan suami istri yang belum pernah hamil meskipun senggama dilakukan tanpa perlindungan apapun untuk waktu sekurang-kurangnya 1 tahun.
b.    Infertilitas sekunder adalah pasangan suami istri yang pernah hamil tetapi kemudian tidak mampu hamil lagi dalam waktu 12 bulan meskipun senggama tanpa perlindungan apapun.
c.    Subvertilitas atau subvekunditas adalah kesukaran untuk menjadi hamil yang mungkin disebabkan oleh vekunditas yang menurun pasangan suami istri.
d.    Sterilitas adalah ketidakmampuan yang lengkap dan permanen untuk menjadi hamil atau menghamili meskipun telah diberi terapi.
e.    Tanpa anak atau chillessness adalah pasangan suami istri yang tidak pernah menghasilkan anak yang mungkin disebabkan oleh vekunditas, kontrasepsi, dan abortus.

B.    Penyebab
1.    Penyebab Terjadinya Masalah-Masalah Kesuburan pada pria
a.    Kelainan Genetik
Meskipun amat jarang, ketidaksuburan pria dapat disebabkan oleh kelainan genetik seperti cystic fibrosis. Gangguan genetik meliputi kelainan pada kromosom seks, yang terjadi pada sindrom Klinefelter.
b.    Gangguan Hormonal
Gangguan hormonal yang terjadi dapat menghalangi produksi sperma. Untuk merangsang testis menghasilkan sperma, dibutuhkan hormon yang dihasillkan oleh kelenjar ptituari. Bila hormon tersebut tidak ada, atau jumlahnya menurun dalam jumlah yang signifikan maka sudah barang tentu kinerja testis tidak akan sempurna.
c.    Varikokel                
Adalah terjadinya pelebaran Pembuluh Darah Vena di sekitar Buah Zakar. Hal ini biasanya terindikasikan dengan adanya benjolan pada bagian atas buah zakar dan biasanya terjadi pada sebelah kiri.
d.    Sumbatan Saluran Sperma
Biasanya disebabkan  bawaan lahir karena tidak terbentuknya sebagian saluran sperma. Selain itu infeksi juga dapat menyebabkan terjadinya sumbatan saluran sperma. Infeksi pada saluran reproduksi dapat disebabkan oleh bakteri melalui penyakit menular seksual. Jika memang disebabkan karena infeksi bakteri mungkin akan terjadi sumbatan akibat perlekatan dari saluran reproduksi pria.
e.    Impotensi
Agar bisa tegak, penis memerlukan aliran darah yang cukup. Karena itu penyakit pembuluh darah (misalnya aterosklerosis) bisa menyebabkan impotensi. Impotensi juga bisa terjadi akibat adanya bekuan darah atau akibat pembedahan pembuluh darah yang menyebabkan terganggunya aliran darah arteri ke penis. Kerusakan saraf yang menuju dan meninggalkan penis juga bisa menyebabkan impotensi.
f.    Kebiasaan Merokok
Merokok dapat menambah risiko kemandulan dan disfungsi ereksi pada pria. Nikotin membuat darah mengental sehingga tidak bisa beredar dengan lancar, termasuk di pembuluh darah alat kelamin. Akibatnya, muncul gangguan seksual seperti ejakulasi dini, ereksi tidak sempurna, bahkan impotensi.
g.    Kebiasaan Minum Beralkohol
Alkohol dalam jumlah besar dapat menurunkan kadar hormon testoteron sehingga mengganggu produksi sperma.


h.    Pengaruh Radiasi
Radiasi akan memberikan efek negatif terhadap konsentrasi dan kualitas sperma. Selain itu sperma yang terkena pengaruh radiasi akan memiliki gerakan berenang yang kurang baik yang akan mengurangi kesempatan untuk pembuahan.
i.    Pengaruh Obat
Beberapa jenis obat bisa mempengaruhi tingkat kesuburan. Obat-obatan seperti antibiotika, pereda rasa sakit, obat penenang, dan obat hormonal dapat menurunkan tingkat kesuburan pria.
2.    Penyebab Terjadinya Masalah-Masalah Kesuburan pada wanita
a.    Sumbatan pada saluran telur
Sumbatan saluran telur disebabkan antara lain adanya perlengketan pada sekitar saluran telur, hal ini sebagai akibat dari pernah terkena IMS dan radang panggul sehingga menghambat pertemuan sel telur dengan sperma.
b.    Endometriosis
Yaitu sel selaput lendir rahim yang tumbuh pada tempat yang tidak semestinya, yaitu di indung telur. Hal ini dapat menimbulkan perlengketan pada sekitar saluran telur atau pada organ reproduksi lainnya.
c.    Kelainan lendir leher rahim
•    Terlalu pekat, yang dapat menghambat laju gerakan sperma
•    Terlalu asam, yang dapat mematikan sperma.
d.    Berat Badan Tidak Seimbang
Berat badan yang tidak seimbang dapat mengganggu kesuburan perempuan, karena tubuh memerlukan 17% dari lemak tubuh di awal masa siklus haid, dan 22% di sepanjang siklus haid. Lemak tubuh mengandung enzim aromatase yang dibutuhkan untuk memproduksi hormon estrogen. Jadi, jika persediaan lemak dalam tubuh tidak memadai, akan memberikan andil besar terhadap ketidaksuburan.


e.    Faktor Usia
Usia berpengaruh terhadap masa reproduksi, artinya selam masih haid teratur kemungkinan ia masih bisa hamil. Penelitian menunjukkan potensi wanita untuk hamil menurun setelah usia 25 tahun dan menurun drastis pada usia di atas 38 tahun (Kasdu,2002). Hal ini juga berlaku pada pria meskipun pria tetap dapat menghasilkan sel sperma sampai usia 50 tahun. Hasil penelitian menunjukkan hanya sepertiga pria berumur di atas 40 tahun yang mampu menghamili istrinya dalam waktu 6 bulan di banding pria yang berumur di bawah 25 tahun. Pada wanita, begitu masuk usia 35 tahun, kesuburan akan menurun dan semakin menurun drastis di usia 37 tahun sampai akhirnya masuk ke masa menopause di atas 40-45 tahunan. Cadangan sel telur akan terus berkurang setup kali wanita mengalami menstruasi dan lama-kelamaan akan habis saat menopouse. Sebaliknya, usia tidak membatasi tingkat kesuburan pria dimana “pabrik sperma” akan terus memproduksi sel-sel sperma selama anatominya normal.
f.    Gaya Hidup Yang Penuh Stres
Gaya hidup ternyata pegang peran besar dalam menyumbang angka kejadian infertilitas, yakni sebesar 15-20%. Gaya hidup yang serbacepat dan kompetitif dewasa ini rentan membuat seseorang terkena stres. Padahal kondisi jiwa yang penuh gejolak bisa menyebabkan gangguan ovulasi, gangguan spermatogenesis, spasme tuba fallopi, dan menurunnya frekuensi hubungan suami istri
g.    Kelainan Mulut Rahim
Normalnya, mulut rahim mengarah ke depan (antefleksi), sehingga berhadapan langsung dengan dinding belakang vagina. Kondisi inilah yang memungkinkan spermatozoa sampai ke dalam saluran mulut rahim yang menghubungkan antara vagina dan rongga rahim. Penyimpangan dari posisi normalnya, seperti retrofleksi (posisi rahim menghadap ke belakang), bisa menghambat terjadinya kehamilan.

h.    Kelainan Rahim
Adanya kelainan  rongga rahim karena perlengketan, mioma atau polip; peradangan endometrium dan gangguan kontraksi rahim, dapat mengganggu transportasi spermatozoa. Kalaupun sampai terjadi kehamilan biasanya kehamilan tersebut akan berakhir sebelum waktunya.

C.    Perkembangan Masalah Infertilitas Hingga Saat Ini  
Masalah kesuburan dipengaruhi oleh budaya dan dapat mempengaruhi populasi suatu negara. Selain itu tingkat kesuburan masyarakat juga mempengaruhi kesehatan reproduksi yang merupakan bagian penting dan merupakan upaya paling utama  dalam  mencapai kehidupan yang berkualitas karena kesehatan reproduksi merupakan refleksi dari kesehatan konsepsi, kesehatan anak, remaja dan masa dewasa, dengan demikian kesehatan reproduksi menentukan kesehatan wanita dan pria serta generasi selanjutnya.
Infertilitas merupakan suatu krisis dalam kehidupan yang akan berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan seseorang. Sangat menusiawi dan normal apabila pasangan infertilitas mempunyai perasaan yang berpengaruh tehadap kepercayaan diri dan citra diri. Lebih parah lagi menurut the national infertility asosiation menyebutkan beberapa gejala yang dapat terjadi antara lain, timbul perasaan sedih, depresi atau putus asa lebih dari 2 minggu. Ada perubahan segnifikan dalam selera makan, sulit tidur atau lebih banyak dari biasanya dan ketika bangun badan tetap merasa lelah. Merasa khawatir dan curiga sepanjang waktu, kehilangan ketertarikan dalam hoby. Mengalami masalah den gan konsentrasi, merasa mudah marah atau sulit mengambil keputusan. Merasa tidak berguna, frustasi dan berfikir lebih baik mati, kehilangan nafsu seksual dan lebih senang menyendiri daripada bersama dengan temen-temen dan keluarga.
Masalah ketidaksuburan atau infertilitas merupakan masalah yang cukup sensitif bagi pasangan suami istri. Bahkan beberapa kasus berujung pada perceraian. Sepertinya sudah terbiasa , bila suatu pasangan infertil maka perempuanlah yang paling di curigai, bahkan di vonis sebagai penyebabnya. Namun hal ini merupakan anggapan yang keliru, karena kemungkinan ketidaksuburan bisa datang suami, istri atau kedua belah pihak secara bersamaan. Infertilitas yang disebabkan oleh istri sebesar 35%, faktor suami 35%. Faktor keduanya 20% dan penyebab lainnya 10% (Mustar,2006).
Di Indonesia kejadian wanita infertil 15 % pada usia 30-34 tahun, meningkat 30% pada usia 35-39 tahun dan 55 % pada usia 40-44 tahun. Hasil survei gagalnya kehamilan pada pasangan yang sudah menikah selama 12 tahun, 40% disebabkan infertilitas pada pria, 40 % karena infertilitas pada wanita, dan 10 % dari pria dan wanita, 10 % tidak diketahui penyebabnya. Pasangan usia subur (PUS) yang menderita infertilitas 524 (5,1%) PUS dari 10205 PUS.
Dari sekian banyak kasus infertilitas hanya 50% saja yang berhasil di tangani baik secara program bayi tabung dan sebagainya( Sarwono, 1999).

D.    Upaya-Upaya Bidan Dalam Menangani Masalah Infertil
Memberikan penyuluhan tentang pentingnya kesuburan dan akibatnya bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat.
a.    Mengajak ibu-ibu dan remaja untuk mendapatkan pendidikan kesehatan tentang perawatan kesehatan reproduksi dengan benar.
b.    Memberitahu teknik hubungan seks yang benar, contohnya: posisi wanita dibawah dengan bokong diganjal bantal agar sperma lebih mudah sampai di uterus.
c.    Menganjurkan untuk melakukan hubungan seksual saat masa subur.
d.    Menganjurkan memilih makanan yang dapat meningkatkan kesuburan, misal : terong dan kecambah.
e.    Menyarankan melakukan hubungan seksual secara teratur, misalnya 3 kali dalam seminggu. 
f.    Menganjurkan untuk periksa ke dr.SpOG guna mengetahui lebih lanjut penyebab pasti infertilnya.


BAB  III
PENUTUP

A.    Kesimpulan 
Tingkat Kesuburan seseorang dapat dilihat dari keadaan fertil atau infertilnya.  Fertilitas ialah kemampuan seorang wanita untuk hamil dan melahirkan anak hidup oleh pria yang mampu menghamilinya. Jadi, fertilitas merupakan kemampuan fungsi satu pasangan yang sanggup menjadikan kehamilan dan kelahiran anak hidup. Sebelum dan sesudahnya tidak seorangpun tahu, apakah pasangan itu fertile atau tidak. Riwayat fertilitas sebelumnya sama sekali tidak menjamin fertilitas dikemudian hari, baik pada pasangan itu sendiri maupun berlainan pasangan.
Infertilitas merupakan ketidakmampuan seorang wanita untuk menjadi hamil dan melahirkan anak, dengan melakukan hubungan seksual secara rutin dan teratur selama satu tahun berkumpul bersama. Disebut Infertilitas primer,  kalau istri belum pernah hamil selama 12 bulan walaupun bersenggama secara rutin. Dan disebut infertilitas sekunder,  kalau istri pernah hamil, akan tetapi  kemudian tidak terjadi kehamilan lagi walaupun bersenggama.

B.    Saran
Sebagai sumbangan dari rangkaian penulisan makalah ini, penulis merasa makalah ini masih jauh dari sempurna, jadi penulis menyarankan penulis selanjutnya agar dapat melakukan perbaikan. Penulis menyadari bahwa penelitian ini belum dapat di generalisasikan bagi pasangan infertil.
Walaupun infertilitas tidak mengancam jiwa, namun kondisi infertilitas merupakan suatu krisis, individu yang mengalami kondisi ini merasakan dampak yang besar terhadap kehidupan pribadi dan keluarga. Untuk itu dalam praktik pelayanan kebidanan bidan dapat lebih bijaksana dalam berkomunikasi atau dalam memberikan informasi serta memberikan dukungan pada pasangan infertilitas ini. Makalah ini juga direkomendasikan bagi praktik kebidanan komunitas dimana sebagai bidan komunitas dapat melakukan pendekatan bagi pasangan infertilitas.
DAFTAR PUSTAKA

Manuaba,Ida Bagus Gede. 2002. Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta : Arcan
Afi Darti Nur. 2006. Stress dan Coping Ibu yang Belum Mempunyai Keturunan. Medan : FK USU
Manuaba,Ida Bagus Gede. 2002. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan & Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC
Sastrawinata,Prof. R. Sulaiman. 2000. Ginekologi. Bandung: Elstar Offset
Wiknjosastro,Prof. Dr. Hanifa. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Suparyanto,dr.2009. TINGKAT PENGETAHUAN PASANGAN USIA SUBUR TENTANG INFERTILITAS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BARENG JOMBANGhttp://dr-suparyanto.blogspot.com/2009/12/tingkat-pengetahuan-pasangan-usia-subur.html. diakses maret 2013
Nuari,Derry.2011.Gambaran Pengetahuan Pasangan Infertil tentang Infertilitas di Desa.http://www.asuhan-keperawatan-kebidanan.co.cc/2011/01/gambaran-pengetahuan-pasangan-infertil.html. diakses maret 2013
Nurvita,Eva.2007. Mekanisme Koping Pasangan Infertil di Kecamatan SingkilKabupaten aceh
Singkil.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14288/1/08E00730.pdf.  diakses  maret 2013